Siapa yang tidak kenal dengan John Lennon? Pentolan grup band legendaris era 60an, The Beatles. Karirnya begitu cemerlang selama Ia bersama The Beatles, begitupun ketika The Beatles bubar dan John Lennon memilih untuk solo karir. Tapi bagaimanakah perjalanan hidup dari pria yang akrab disapa Lenny ini sebelum ia sukses di dunia musik? Film Nowhere Boy menjawab pertanyaan barusan. Film biopik yang rilis pada tahun 2009 ini menceritakan John Lennon remaja yang hidup bersama pamannya, George Smith dan bibinya, Mimi Smith. John, yang diperankan oleh Aaron Taylor Johnson menggambarkan sosok pemuda yang jahil, nakal, sarkastik, dan temperamen.




Berlatarkan di Liverpool tahun 40-50an, cerita film ini dimulai dengan kematian paman John dan pertemuan John dengan Ibunya, Julia Lennon. Dari Ibunya, John belajar memainkan alat musik banjo dan kemudian membentuk sebuah band bersama rekan sekolahnya, The Quarrymen. Dari penampilannya bersama Quarrymen, John bertemu dengan Paul McCartney yang menjadi cikal bakal terbentuknya The Beatles. 


Film yang disutradarai oleh seorang seniman kenamaan, Sam Taylor-Johnson ini digarap dengan sangat detail lagi ciamik. Suasana yang dibangun pada film nampak persis seperti foto-foto lawas di kejadian aslinya. Akting dari aktornya pun cukup bagus, terutama peran Kristen Scott-Thomas sebagai Mimi dan Anne Marie Duff sebagai Julia.




Nowhere Boy: Sebuah Perjumpaan Awal The Fab Four


Hidayaturrahmat atau biasa kupanggil bang Dayat, teman yang belum lama aku kenal tapi sudah terbilang dekat. Kita sering bicara tentang hal apa saja, mulai dari musik, film, sosial media, dan berbagi perspektif dari aspek apapun. Lalu aku berpikir, kenapa tidak kuajak dia produktif dengan berbagi perspektifnya kepada khalayak di Ngobrol Santai kali ini? Dan dia pun menerima tawaranku.

Merantau

Lelaki berdarah minang ini sudah memasuki tahun kelima merantau di Jogja. Baru lulus kuliah S2 di UGM mengambil jurusan Kimia. Hingga kini dia memutuskan untuk menetap dan mencari pekerjaan di Jogja. Menurutnya, Jogja adalah tempat yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, sampai-sampai mengibaratkan Jogja sebagai rumah kedua-nya setelah rumah dimana kedua orangtuanya tinggal yaitu di Lintau. Manis pahit kehidupannya banyak dirasakan disini walaupun hanya dalam jangka waktu lima tahun. Lalu aku menanyakan apa hal yang Ia tidak sukai atau yang membuat resah dari Jogja mengingat, dengan mengenal sebuah kota kita tidak boleh menutup mata akan kekurangannya. Menurutnya, Jogja kini mulai ramai akan pendatang dan hal itu samasekali bukan hal yang buruk, Namun akan jadi meresahkan ketika para pendatang tidak menyertakan perilaku yang baik seperti main klakson di lampu merah, dan juga parkir memakan bahu jalan. Selain itu, ada beberapa perubahan dari kota ini, seperti kini Jogja sudah banyak gedung bertingkat dan Ia sudah jarang melihat pesepeda lalu-lalang di jalanan. Tapi dari semua kekurangan Jogja, semua itu wajar saja karena sudah menjadi resiko hidup di kota istimewa, semua orang ingin datang.

Perasaan, Cinta, Emosi

Sebenarnya topik ini bermula ketika bang Dayat bercerita tentang berdoa kepada Tuhan dalam teori sains. Didalam obrolan kita, ia berkata bahwa kita didalam berdoa sebenarnya berusaha menyamakan level atau kedudukan dengan Tuhan kedalam unsur mikroskopik. Sedikit heran aku mendengarnya, karena yang aku tahu dan yang aku yakini, Tuhan itu maha besar. Dalam penalarannya, didalam berinteraksi, setiap mahluk hidup menyamakan frekuensi satu sama lain agar bisa menyalurkan emosi. Jadi, dalam konteks menyamakan level menjadi unsur mikroskopik disini membayangkan kita jadi unsur mikroskopik tersebut sehingga kita bisa merasakan kebesaran Tuhan. Sedangkan emosi, cinta, dan kesan-kesan lain ketika kita berinteraksi dengan suatu hal baik mahluk hidup seperti manusia, hewan, ataupun mahluk tak hidup seperti melihat warna dan mendengarkan suara adalah pengaruh dari respon dari otak menanggapi gelombang atau frekuensi yang dipancarkan dari hal-hal tersebut.

Pandangan tentang rokok

Sebagai kimiawan, bang Dayat tentu tau kandungan dari rokok, dan bahayanya. Tapi hal itu tidak membuat bang Dayat berfikir negatif terhadap rokok. Karena rokok dan merokok tidak semata-mata hanya tentang kesehatan, tapi juga sejarah, sosial, budaya, dan sebagai media apresiasi kepada petani-petani tembakau di Indonesia. "Menurutku orang yang ngerokok tuh kayak perahu atau kapal yang terapung di permukaan, sedangkan orang yang merokok itu kayak kapal selam." kata bang Dayat yang beranggapan rokok sebagai pemersatu, dan teman ngobrol dimana saja. Dia juga bercerita tentang sejarah awal mula orang Indonesia menanam rokok ketika era tanam paksa dijaman penjajahan. Disaat jaman pailit, industri rokoklah yang masih bertahan dan bisa dibilang membantu ekonomi negara saat itu karena semua bahan yang digunakan merupakan produk dalam negeri.  Disamping itu, sekarang dana BPJS sebagian diambil dari cukai rokok, secara tidak langsung perokok adalah pahlawan tanpa tanda jasa. "Semua hal ada sisi negatif dan positifnya, asal tau takarannya, tau batasnya." jelas bang Dayat.

Sebagian kecil percakapan kami telah terekam dan bisa kamu saksikan disini.


Bicara kimia dan merantau bersama Uda Ayat.

Khibran Aufar, teman-teman biasa memanggilnya Bob atau mungkin lebih tepatnya ia sendiri yang membranding dirinya dengan sebutan "Bob" itu. Seorang remaja yang tidak jauh berbeda dengan remaja-remaja lainnya. Dia kuliah, dia ngekos, dia perantau, dan dia kelaparan di akhir bulan (bahkan mungkin sepanjang bulan). Kurang lebih 3 tahun progress dia di perkuliahan tidak ada peningkatan, bahkan tiap semester semakin jarang ditemui dikelas. Dia merasa berkegiatan perkuliahan dikelas bukan yang ia harapkan. Ia lebih senang menggambar, menulis, dan menonton konser musik.

Bob seringkali menemui keadaan yang sulit, terutama untuk meyakinkan orangtua-nya tentang kehidupannya sekarang. Tentu saja gagal diperkuliahan bukanlah berita baik bagi sebagian banyak orang tua, termasuk orangtua Bob. Mungkin hampir semua mahasiswa yang kuliah dibayarkan orang tua hal semacam ini sulit untuk diterima karena mencerminkan tidak berbakti-nya Bob kepada orangtua. Tapi Bob memiliki opininya sendiri, terutama untuk kegiatan belajar mengajar itu sendiri. alih-alih memperjuangkan eksistensinya di kampus, dia lebih memilih untuk mengotori kanvas-kanvas dan beberapa tembok serta media lain dengan kuas dan cat.

Dalam rangka aji mumpung dan penasaran, saya menyempatkan diri bertanya beberapa hal menurut perspektif-nya dan meminta izin untuk mendokumentasikannya.


Khibran a.k.a Bob, Perspektif dari Seorang Tukang Gambar


21 November 2018, malam itu aku bersama seorang teman main ke kedai kopi @kopitarik11 yang berada di Jl. Kaliurang KM.9. Sebelumnya memang aku sudah membuat janji dengan pemilik kedai kopi ini, yaitu mas Danang C. Nugroho atau biasa disapa mas Gedang. Mas Gedang adalah pegiat kreatif yang biasa menyumbangkan tenaga serta pikirannya ke ranah event-event di Jogja. Aku sendiri pertama kali mengenalnya sekitar 3 tahun lalu saat menjadi volunteer di event seni tahunan Jogja yang pada saat itu dialah pihak yang menerima pendaftaran volunteer. Tanpa ada daftar pertanyaan, aku cuma mengulang kembali topik pembicaraan yang sempat dibahas di hari-hari sebelumnya. Dan malam itu, aku meminta izin untuk mendokumentasikan obrolan kami. Banyak hal yang kita bahas malam itu, namun karena takut videonya kepanjangan untuk dimuat di youtube, jadi aku pilih beberapa topik yang sekiranya menarik untuk ditonton.


Sharing Pendapat Bersama Mas Gedang

Setiap hari Minggu, di desa Winong, kecamatan Bawang, Banjarnegara ada sebuah pasar yang disebut-sebut sebagai destinasi digital Banjarnegara, Pasar Lodra Jaya namanya. Destinasi Digital disini maksudnya adalah sebuah tempat yang dikemas dan dipublikasikan secara modern melalui sosial media, dengan konten-konten yang kekinian. Tujuannya untuk menggaet peminat muda-mudi agar datang berkunjung karena pengguna sosial media sendiri didominasi oleh millenials yang berusia 17 tahun s/d 25 tahun.

Menurutku sendiri, hal ini terbilang unik karena saat aku mengetahui dari temanku, aku membayangkan sebuah tempat wisata yang modern dan kekinian, tapi ternyata dugaanku keliru. Ketika sudah berada di Pasar Lodra Jaya, pengunjung akan diajak merasakan jajanan-jajanan tradisional dengan metode transaksi lawas yaitu dengan mengganti mata uang rupiah menjadi kepingan kayu yang bernama "kethip". Berikut ulasan melalui video liputan yang kubuat:
Karena masih baru, tentu pasar ini perlu pengembangan di beberapa aspek. Maka dari itu, penting bagi masyarakat Banjarnegara untuk mensupport dengan berkunjung dan jajan di Pasar Lodra Jaya.

DESTINASI: PASAR LODRA JAYA, Destinasi Digital Banjarnegara


Rofik namanya, part time barista, full time mahasiswa aseli Surabaya. Ketemu pas lagi jalan-jalan di Malioboro sembari nunggu servisan HP di salahsatu mall. Kebetulan aku lagi bawa kamera yang kupinjam dengan tujuan awal dokumentasi event di area kota Jogja. Tapi karena pada hari itu (Kamis, 4 Oktober) lagi kosong orderan, jadi kuberanikan minta izin ke Rofik untuk merekam perbincangan kita kala itu, dan dibolehkan.

Ngobrol Santai Bareng Barista Koling


Wanita berparas hitam manis ini pertama kali kuketahui dari postingan instagram seorang musisi sekaligus penyiar radio, akar pijar. Saat itu akar pijar share momen kolaborasi dia bersama mbak Gabiella. Dari situ aku penasaran dengan musik serta penampilannya. Dan ternyata, hari minggu tanggal 26 Agustus 2018, dia tampil di sebuah acara pameran batik di hotel Alana, yang kebetulan aku sedang ada gawe juga disitu sebagai staff publikasi foto dan video.

Gabriela Fernandez, Satu lagi suara emas dari timur Indonesia