Hidayaturrahmat atau biasa kupanggil bang Dayat, teman yang belum lama aku kenal tapi sudah terbilang dekat. Kita sering bicara tentang hal apa saja, mulai dari musik, film, sosial media, dan berbagi perspektif dari aspek apapun. Lalu aku berpikir, kenapa tidak kuajak dia produktif dengan berbagi perspektifnya kepada khalayak di Ngobrol Santai kali ini? Dan dia pun menerima tawaranku.
Merantau
Lelaki berdarah minang ini sudah memasuki tahun kelima merantau di Jogja. Baru lulus kuliah S2 di UGM mengambil jurusan Kimia. Hingga kini dia memutuskan untuk menetap dan mencari pekerjaan di Jogja. Menurutnya, Jogja adalah tempat yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, sampai-sampai mengibaratkan Jogja sebagai rumah kedua-nya setelah rumah dimana kedua orangtuanya tinggal yaitu di Lintau. Manis pahit kehidupannya banyak dirasakan disini walaupun hanya dalam jangka waktu lima tahun. Lalu aku menanyakan apa hal yang Ia tidak sukai atau yang membuat resah dari Jogja mengingat, dengan mengenal sebuah kota kita tidak boleh menutup mata akan kekurangannya. Menurutnya, Jogja kini mulai ramai akan pendatang dan hal itu samasekali bukan hal yang buruk, Namun akan jadi meresahkan ketika para pendatang tidak menyertakan perilaku yang baik seperti main klakson di lampu merah, dan juga parkir memakan bahu jalan. Selain itu, ada beberapa perubahan dari kota ini, seperti kini Jogja sudah banyak gedung bertingkat dan Ia sudah jarang melihat pesepeda lalu-lalang di jalanan. Tapi dari semua kekurangan Jogja, semua itu wajar saja karena sudah menjadi resiko hidup di kota istimewa, semua orang ingin datang.
Perasaan, Cinta, Emosi
Sebenarnya topik ini bermula ketika bang Dayat bercerita tentang berdoa kepada Tuhan dalam teori sains. Didalam obrolan kita, ia berkata bahwa kita didalam berdoa sebenarnya berusaha menyamakan level atau kedudukan dengan Tuhan kedalam unsur mikroskopik. Sedikit heran aku mendengarnya, karena yang aku tahu dan yang aku yakini, Tuhan itu maha besar. Dalam penalarannya, didalam berinteraksi, setiap mahluk hidup menyamakan frekuensi satu sama lain agar bisa menyalurkan emosi. Jadi, dalam konteks menyamakan level menjadi unsur mikroskopik disini membayangkan kita jadi unsur mikroskopik tersebut sehingga kita bisa merasakan kebesaran Tuhan. Sedangkan emosi, cinta, dan kesan-kesan lain ketika kita berinteraksi dengan suatu hal baik mahluk hidup seperti manusia, hewan, ataupun mahluk tak hidup seperti melihat warna dan mendengarkan suara adalah pengaruh dari respon dari otak menanggapi gelombang atau frekuensi yang dipancarkan dari hal-hal tersebut.
Pandangan tentang rokok
Sebagai kimiawan, bang Dayat tentu tau kandungan dari rokok, dan bahayanya. Tapi hal itu tidak membuat bang Dayat berfikir negatif terhadap rokok. Karena rokok dan merokok tidak semata-mata hanya tentang kesehatan, tapi juga sejarah, sosial, budaya, dan sebagai media apresiasi kepada petani-petani tembakau di Indonesia. "Menurutku orang yang ngerokok tuh kayak perahu atau kapal yang terapung di permukaan, sedangkan orang yang merokok itu kayak kapal selam." kata bang Dayat yang beranggapan rokok sebagai pemersatu, dan teman ngobrol dimana saja. Dia juga bercerita tentang sejarah awal mula orang Indonesia menanam rokok ketika era tanam paksa dijaman penjajahan. Disaat jaman pailit, industri rokoklah yang masih bertahan dan bisa dibilang membantu ekonomi negara saat itu karena semua bahan yang digunakan merupakan produk dalam negeri. Disamping itu, sekarang dana BPJS sebagian diambil dari cukai rokok, secara tidak langsung perokok adalah pahlawan tanpa tanda jasa. "Semua hal ada sisi negatif dan positifnya, asal tau takarannya, tau batasnya." jelas bang Dayat.
Sebagian kecil percakapan kami telah terekam dan bisa kamu saksikan disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar